Tetap Diam
Tidak banyak yang aku
lakukan. Hanya berusaha memahami apa yang sedang terjadi pada diri ini. Aku tak
kunjung memilih mendampingi seseorang, maupun bersedia didampingi seseorang
dalam waktu dekat. Ketika lingkungan di sekitarku perlahan berubah seperti time laps yang terus bergerak, hanya aku
yang diam. Mereka semakin dewasa, semakin mantap menginjak keputusan mereka
memasuki “dunia baru” selanjutnya. Berpacaran. Menikah. Membangun keluarga
baru.
Bagiku, masih terlalu
dini untuk memulai. Sungguh. Berprasangkapun tidak. Belum. Sudah barang tentu
aku menginginkan kehidupan penuh romantisme percintaan dengan lelaki pilihan. Entahlah,
aku tidak merasa aku terlalu aneh karena masih sendiri hingga sekarang, belum
pernah menjalani sebuah hubungan yang orang sebut “pacaran” dan sejenisnya.
Tapi tak sedikit pula yang menganggapku aneh dan bertanya apakah aku pernah
menyukai seseorang. Tentulah, GOD!!
Memang, terkadang aku
pun bingung. Jalan seperti apa yang sedang kutempuh, keputusan apa yang
sebenarnya aku perbuat. Rasanya semua saraf di dalam otak perasa ku tidak
menghendaki aku merasakan sensasi jatuh cinta yang dahsyat. Hei otak perasa,
kau sungguh tidak ingin asupan dopamin?
Langkah pertama selalu
menjadi bagian tersulit. Sudah pasti. Baiklah, sepertinya hormon tiga serangkai
(adrenalin, norepinefrin, dopamin)
masih enggan bertemu dan memulai proyek mereka. Jantungku mungkin saja masih
belum siap memompa darah membuat napas tersengal, deg-degan karena dia. Atau
jangan-jangan karena aku anemia? Kurang darah sehingga tidak ada stok darah
lagi untuk jatuh cinta. DAMN... I NEED BLOOD, RIGHT NOW!!
Sepertinya sekarang bisa disimpulankan, misteri kenapa aku masih sendiri adalah karena jantungku
tidak punya stok darah untuk dipompa saat jatuh cinta. Dan, yaaaa. Hanya itu.
Komentar
Posting Komentar