Postingan

Gerimis

Ke arah mana aku harus mengejar pelangi? Bukankan gerimis tadi sore sudah cukup untuk mengundang kehadirannya?  Kenapa dia masih juga enggan untuk menampakkan diri? Ke arah mana aku harus mengejarnya? Meskipun sudah cukup kuberikan undangan dengan gerimisku untuknya, dia masih enggan untuk datang. Apakah karena awan yang masih mendung? Sehingga cahayaku tidak dapat melewati tetesan gerimis? Semoga mendung di hatimu segera berakhir, supaya cahayaku dapat membiaskan air itu. Supaya gerimis yang kukirimkan tidak terbuang percuma. Supaya pelangi itu terlihat lagi. Aku terlalu mendambanya. Ingin menyaksikan rupa warna yang terpancar dalam matanya setiap detik. Dan memastikan berkali kali bahwa aku bahagia jatuh ke dalam sihirnya. Dia adalah putih yang mengurai warnanya menjadi tujuh. Aku merasa damai melihat setiap jengkal warna yang diciptanya. Dan juga merasa damai dalam dekap hangat peluknya. Kau hanya datang sesudah hujan turun bukan? Padahal aku menginginkanmu datang setiap saat.

Rasa

Untukmu, yang semoga diciptakan Tuhan untuk menjadi pasanganku. Aku sempat meminjam namanya, jauh sebelum semua cerita ini terjadi. Tanpa ijin apalagi sepengetahuannya, aku menyelipkan namanya beberapa kali dalam keheninganku meminta kepada Tuhanku. Aku melakukannya tidak lebih dari tiga kali, sungguh. Setelahnya, aku memutuskan untuk tidak menyelipkan namanya lagi. Tidak seharusnya aku menginginkan sesuatu yang bukan diciptakan untukku, pikirku saat itu. Kemudian, suatu hari di bulan November 2020. Nama yang pernah kusampaikan pada Tuhan, datang dan mengisi lembar baru di cerita hidupku. Aku dengan segala kegugupanku memutuskan untuk menyesuaikan langkah kakimu. Begitu juga denganmu. Kita saling menerka dan berkelana ke dalam pikiran satu sama lain. Mencoba untuk memahami apa-apa yang kamu suka dan kamu tidak suka. Sayangnya, tidak ada buku panduan untuk mengenal perjalanan hidupmu. Jika ada, aku akan segera membelinya supaya lebih cepat memahami semua tentangmu. Ketika membacanya mu

Percakapan

Kamu terlalu keras ke diri sendiri. Setelah berusaha melihat ke dalam diri, banyak sekali sisi yang tidak kamu kenal dalam dirimu. Tiba-tiba perasaan cemas datang, perasaan bangga, sakit hati, takjub, ngeri, semuanya bergantian sibuk menampakkan gambaran masa lalu lalu. Seolah satu satu mempresentasikan "ini lho diri kamu. Aku sisi jahat, aku sisi baik, aku sisi perpotongan dari keduanya". Sisi baik berkata "selama ini aku tidak pernah kamu apresiasi. Kamu menganggap aku bisa menangkap sinyalmu begitu saja setelah kamu melakukan kebaikan. Kamu kira aku bisa mengerti tanpa kamu jelaskan? Aku ini sisi baik. Tapi aku sering terluka karena kamu tak pernah menganggap pekerjaanku berguna dimatamu. Kamu selalu berpikir sisi baik tidak perlu di apresiasi, karena ya tidak perlu. Selalu saja kamu berpikiran seperti itu. Nyatanya, aku tidak paham dengan maksud pemikiranmu. Jujur saja, sebagai sisi baik aku kecewa karena aku sudah sangat bekerja keras dan ingin mendengar pujian dari

hari-hari yang membosankan

Pagi datang lewat jendela kamar kos yang tak pernah dibersihkan. Hari senin. Hari yang sangat berat untuk sekedar membuka mata. Suara haha hihi kamar sebelah yang ribut masak sarapan di dapur umum membuatku terpaksa bangun. Dapurnya ada di sebelah kamarku persis, jadi semua suara pasti terdengar. Bisik bisik sekalipun. Pukul 08.00 Tanggal 17 Agustus 2020. Ah, hari kemerdekaan rupanya. Mengingat tanggal itu, aku dengan segera mengambil posisi duduk lalu mengambil hp dibawah bantal. Membuka aplikasi berwarna orange alias Shopee dan mengecek diskonan. Tetap masih sambil menguap juga rupanya. Sesuai dugaan, toko-toko memasang label sale 17% di produknya. Masih terlalu sedikit, batinku. Masalahku setiap hari masih sama, terjebak skripsi. Dan pagi hari adalah kemalasan terbesar yang harus dihadapi. Harus mandi dan bersiap-siap ke perpustakaan kampus saja sudah malas, apalagi saat harus duduk membaca jurnal berbahasa inggris untuk referensi. Jam-jam kritis saat mataku sudah tidak bisa men

Aku Melupa

Dulu ketika aku menggurat senyum di bibir saat memandangmu, duniaku berhenti. Hanya keindahan yang ketemukan di dalamnya. Kurasakan keindahan itu hingga jauh ke sana, ke dalam relung hati. Bersemayam hingga beberapa saat, menyejukkan asa yang haus kedamaian. Mungkin saja kau diturunkan ke dunia untuk menebar hal hal indah dengan perangaimu yang meneguhkan perasaan. Mungkin juga aku salah satu manusia yang ditakdirkan untuk sembunyi sembunyi menatapmu, dengan tergesa melihat ke arah lain saat hampir ketahuan. Tak apa, aku tetap menyukainya walaupun terlihat seperti seorang pengecut. Dulu ketika aku diam diam memperhatikan langkah kakimu, aku merasa hanya ada kita yang berjalan bersisihan sambil bercengkerama serta mengurai tawa. Membahas cuaca hari itu yang sebenarnya kurang indah, namun bersamamu sudah cukup untuk mengubah cuaca paling buruk sekalipun.   Menenangkan. Kemudian dengan perlahan kita berdua semakin ber usia. Dunia yang kita pijak tak sama lagi. Hati ini tak s

Belum Berakhir

Perjalanan panjang alam bawah sadar yang tak pernah usai. Di sana, aku bertemu dengan manusia yang seharusnya tidak aku temui. Di sana, manusia itu mengulurkan tangannya saat aku terperosok ke dalam pusaran tiada ujung. Menariknya, dan bercengkerama dengan ramah. Membuatku lupa akan garis takdir yang tak boleh dilampaui. Apa sebenarnya guna perjalanan ini? Karena setiap tersadar menyisakan harapan semu seperti orang bodoh. Fase ini selalu saja terjadi. Seperti para astrologi yang pandai membaca tanda alam, begitu pun dengan manusia ini. Dia begitu saja menerobos masuk tanpa menggunakan tanda pengenal. Muncul sebagai pemeran utama tanpa persetujuan siapapun. Bebas melenggang dan melakukan apa saja yang dia kehendaki. Kedatangannya selalu mengisi kehampaan sebuah ruang. Seringkali aku menangkap radar keberadaanya, tapi aku tak punya kuasa untuk mengusirnya. Saat kukira semua kisah sudah berakhir, nyatanya tidak. Cerita ini belum berakhir. Bahkan mungkin tidak akan pernah berakh

Tetap Diam

Tidak banyak yang aku lakukan. Hanya berusaha memahami apa yang sedang terjadi pada diri ini. Aku tak kunjung memilih mendampingi seseorang, maupun bersedia didampingi seseorang dalam waktu dekat. Ketika lingkungan di sekitarku perlahan berubah seperti time laps yang terus bergerak, hanya aku yang diam. Mereka semakin dewasa, semakin mantap menginjak keputusan mereka memasuki “dunia baru” selanjutnya. Berpacaran. Menikah. Membangun keluarga baru. Bagiku, masih terlalu dini untuk memulai. Sungguh. Berprasangkapun tidak. Belum. Sudah barang tentu aku menginginkan kehidupan penuh romantisme percintaan dengan lelaki pilihan. Entahlah, aku tidak merasa aku terlalu aneh karena masih sendiri hingga sekarang, belum pernah menjalani sebuah hubungan yang orang sebut “pacaran” dan sejenisnya. Tapi tak sedikit pula yang menganggapku aneh dan bertanya apakah aku pernah menyukai seseorang. Tentulah, GOD!! Memang, terkadang aku pun bingung. Jalan seperti apa yang sedang kutempuh, keputusan